Cara Pembuatan

Kain tenun merupakan jenis kain yang terbuat dari anyaman benang vertikal atau disebut benang lungsi, dengan benang horizontal atau disebut benang pakan.
anyaman benang lungsi dan benang pakan
Proses menenun merupakan proses pembuatan kain dari persilangan dua set benang dengan cara memasuk-masukkan benang pakan secara melintang pada benang-benang lungsi. Sebelumnya, benang-benang lungsi dipasang sejajar satu sama lain di alat tenun sesuai lebar kain yang diinginkan. Proses ini disebut penghanian (Rapania, 2010).
Satu persatu benang lungsi dipegang oleh alat tenun sementara benang pakan dimasukkan secara melintang diantara helaian benang lungsi.
Dari cara pembuatan ragam hias atau motif, dapat dibedakan atas dua jenis yakni: (Rapania, 2010)
1. Tenun ikat, pembuatan motif dengan cara mengikat bagian tertentu dengan benang kemudian dicelupkan pada pewarna. Apabila yang diikat adalah benang lungsi maka disebut tenun ikat lungsi, apabila yang dicelupkan benang pakan maka disebut tenun ikat pakan. Apabila keduannya diikat dan dicelupkan maka disebut tenun ikat ganda.
2. Kain songket, pembuatannya sama seperti tenun ikat tetapi ada penambahan benang emas atau perak dengan menyisipkan diantara benang lungsi dan benang pakan yang diungkit menggunakan alat tenun.
3. Istilah ‘songket’ dapat pula dilihat dari proses penenunannya, dimana benang dimasukkan ke dalam longsen dan kemudian diterima atau disongsong. Dapat pula dilihat dari kata tusuk atau cukit, kemudian kainnya disebut sukkit dan lama-kelamaan disebut songket.

Bahan baku kain tenun songket
Bahan baku kain tenun songket terdiri atas benang emas, benang perak, benang sutera dan benang kapas atau benang super. Benang emas adalah benang berwarna keemasan yang memberikan aksentuasi bagi tampilan songket. Benang emas inilah yang digunakan untuk membentuk motif dengan warna keemasan pada kain songket. (Syarofie, 2007).
Benang emas dahulu diperoleh dari India, namun saat ini kebanyakan para perajin membeli benang emas dari Singapura. Jenis benang emas sendiri beragam, jika dilihat dari merk, yang umum dipakai adalah Sartibi, Maksmilon, dan Jeli. Adapun benang emas yang lain yang warna keemasannya lebih cerah dinamakan benang emas Kristal. Motif yang dihasilkan dari benang emas Kristal ini otomatis lebih terlihat dan menonjol dibanding dengan benang emas jenis lain.
Ada pula benang emas yang bernilai lebih tinggi, yaitu benang emas pada Songket Jantung. Benang emas pada Songket Jantung menyerupai kawat yang berkontur lemas. Warna emasnya didapat dari pencelupan benang ke dalam larutan bubuk emas murni. Sekarang, benang jenis ini tidak diproduksi lagi.
Benang pakan yang biasa dipakai adalah benang super dan benang sutera. Bahan super adalah sejenis katun, tetapi tekstur dan seratnya sedikit berbeda. Sutera memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding super. Harga benang sutera pun lebih tinggi dibanding benang lain. Ada pula benang koyor, yang teksturnya lebih lemas. Namun benang jenis ini sudah tidak digunakan lagi karena tekstur yang terlalu lemas, sehingga hasil tenunan kurang optimal.

Proses Pewarnaan Benang
Pada awalnya benang berwarna polos, kemudian benang diberi pewarna sesuai keinginan. Biasanya yang digunakan pewarna dari alam, saat ini telah banyak menggunakan zat pewarna khusus tekstil.
Benang super maupun sutera yang sudah dijalin dicelupkan ke dalam zat pewarna yang tengah direbus sekitar 1 jam agar zat warna merata dan meresap ke dalam pori-pori benang.
Setelah direbus, sambil ditekan-tekan dan dibalik dalam jerangan, benang ini kemudian dicuci dengan air bersih. Tujuannya untuk menjaga agar pewarnaan rata dan menghindarkan kemungkinan warna luntur.
Kemudian benang dijemur dengan diangin-anginkan saja, tidak langsung terkena sinar matahari agar benang tidak mudah rapuh.
Khusus untuk pewarnaan songket limar, menggunakan dua teknik, yaitu:
1. Teknik Ikat.
2. Benang putih polos diikat dengan bahan kedap air, dahulu bahan yang digunakan adalah sejenis rosela, namun sekarang menggunakan bahan plastik. Benang yang beberapa bagiannya sudah diikat, dicelupkan ke dalam pewarna dengan teknik perebusan yang sama. Setelah dikeringkan, bagian yang telah berwarna diikat, sedangkan bagian yang masih berwarna putih dicelup lagi ke dalam pewarna lain. Namun jika menginginkan warna putih, maka bagian tersebut dibiarkan.
3. Teknik Cecep.
4. Pada proses pen-cecep-an, jalinan benang putih direntang di atas semacam alas yang terbuat dari kayu yang disebut pemidangan. Pencecep membuat pola warna sesuai dengan keinginan. Pola ini menempatkan beberapa warna di jalinan benang secara berselang-seling kemudian mengoles dan menekan-nekankan warna hingga rata di jalinan benang.
5. Untuk mencecepkan warna itu, dipakai bambu yang dipotong dan diserut menjadi bentuk stik, disebut dengan gelekan. Bagian ujung potongan bambu ini dibungkus semacam kain untuk menyerap zat pewarna. Teknik inilah yang disebut dengan cecep.
6. Pewarnaan kain tajung atau limar dengan teknik ikat maupun cecep, sekaligus merupakan proses mendesain motif. Lewat pola warna yang dibuat, motif kain akan tercipta dengan sendirinya.
7. Usai pencelupan atau pencecepan dengan zat pewarna tekstil, jalinan benang diangin-anginkan. Setelah kering, barulah dilakukan pencucian sebanyak dua kali. Pertama dicuci dengan zat kimia khusus tekstil, kedua dicuci dengan air bersih. Setelah itu diangin-anginkan kembali.
8. Khusus untuk kain limar, pewarnaannya dengan menggunakan kesumba dan dapat dilakukan tanpa harus dicuci dengan zat kimia. Penjemuran pun dapat dilakukan langsung di bawah sinar matahari.
9. Benang yang telah kering baik dicelup atau dicecep, selanjutnya digulung ke pani, untuk kemudian digulung ke tempat pakan dan diteruskan ke proses pen-cukit-an.

Proses pembuatan kain tenun songket
Sebuah kain songket biasanya dapat diselesaikan dalam waktu 3 hari, tetapi untuk kain tenun songket dengan motif-motif yang rumit dan penuh dengan benang emas membutuhkkan waktu penyelesaian sampai dengan satu atau tiga bulan.
Alat tenun tradisional yang digunakan disebut gedogan , selain itu ada pula Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Gedogan terdiri atas beberapa bagian yakni cacak, dayan, apit, por, tumpuan, beliro, suri, dan bagian lainnya.

Berikut ini penjelasan dari bagian-bagian yang terdapat pada gedogan.
1. Cacak  terdiri atas dua tiang tempat dayan diletakkan
2. Dayan merupakan sekeping papan yang digunakan untuk menggulung benang lungsen. Biasanya, jenis kayu yang dipakai sebagai bahan pembuat dayan berupa kayu yang kuat dan awet tetapi tidak terlalu berat, serupa meranti. Jumlah helai benang yang ditempatkan di dayan akan menentukan apakah songket yang dihasilkan kelak berupa kain ataukah selendang,
3. Apit berfungsi sebagai penggulung benang yang sudah ditenun menjadi kain, yang terletak di bagian depan penenun. Apit digunakan pula untuk menahan longsen dari dayan. Ujung longsen “direkatkan” ke apit dengan bentang yang sama dengan bentang longsen di pangkal dayan

1. Apit berfungsi sebagai penggulung benang yang sudah ditenun menjadi kain, yang terletak di bagian depan penenun. Apit digunakan pula untuk menahan longsen dari dayan. Ujung longsen “direkatkan” ke apit dengan bentang yang sama dengan bentang longsen di pangkal dayan.
2. Por atau lempaut. Bentuknya melengkung yang berfungsi menahan benang lungsen. Alat ini ditahan dengan bagian belakang penenun. Ukuran por sekitar 75 cm, berbentuk pipih melengkung dan melebar pada bagian tengahnya untuk menyesuaikan dengan tubuh penenun, sehingga penenun lebih nyaman dalam menjalankan aktivitasnya. Apabila alat ini dilepas maka benang pakan yang sudah disusun di dayan menjadi kendor. Di bagian kanan dan kiri por diikatkan seutas tali yang dihubungkan dengan apit. Di ujung kedua por terdapat semacam bendulan yang berguna untuk mengikat atau mengaitkan tali dari kayu penahan di ujung longsen. Por umumnya dibuat dari kayu nibung.
3. Tumpuan, merupakan penahan kaki penenun.
4. Beliro yaitu berupa kayu pipih yang digunakan untuk merapatkan benang pakan. Beliro dihentakkan agar benang pakan dan benang emas dapat menyatu dengan benang pada lungsen. Beliro biasanya dibuat dari kayu unglen, dan ada pula yang menggunakan nibung, karena kayu pipih ini harus berat supaya hasil hentakkannya kuat sehingga bisa menyatukan benang dengan rapat. Kayu pembuat beliro juga harus berkualitas baik, agar saat bergesekan dengan benang tidak sampai merubah warna atau kualitas benang tersebut. Beliro disebut juga alat sentekan (nyentek berarti memukul dengan cara menarik ke belakang).
5. Suri berfungsi untuk menyisir benang pakan supaya hasil tenunannya rapat. Suri memiliki arti sisir, dalam bahasa Palembang. Alat ini memang menyerupai sisir dengan kedua ujung yang ditutup. Kerapatan bilah-bilah suri menentukan kualitas tenunan yang dihasilkan. Bahan bilah suri terbuat dari bambu sepanjang kurang lebih 10 cm dan diraut sangat halus. Kedua ujungnya kemudian “dijahit” satu sama lain, untuk kemudian “diikat” dengan tangkupan dua bilah bambu atau belahan rotan.
6. Menurut kegunaannya, jenis suri terbagi menjadi dua, yaitu suri yang dipakai untuk menenun kain dan suri untuk menenun selendang. Karena lebar kain dan selendang berbeda, maka ukuran kedua suri tersebut juga berbeda. Suri untuk kain berukuran 90 cm, sedangkan untuk selendang suri umumnya berukuran 45 x 60 cm.
7. Gulungan untuk menahan keluar masuknya benang pakan
8. Nyincing atau cucuk karap, berfungsi untuk membuka benang agar benang lungsen tetap dan teratur letaknya. Penyicing dipakai untuk mengangkat di jalinan lungsen sesuai dengan motifnya. Alat ini terbuat dari rotan atau bambu betung yang diserut. Benang gun yang dijalin di antara lungsen sebagai hasil cukitan, ditempatkan. Saat akan memasukkan benang pakan atau benang emas, penyicing diangkat, sehingga pemasukkan benang sesuai dengan alur motif.
9. Pelipiran berfungsi untuk membantu membuat motif dengan cara membuka benang lungsen sebelum dimasuki benang pakan. Pelipiran disebut juga anak beliro, karena bentuknya yang mirip tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih tipis. Alat ini biasanya terbuat dari bahan kayu yang ringan, seperti kayu pulai atau tripleks.
10. Lidi-lidi atau gun, berfungsi untuk membuat motif kain tenun. Semakin banyak motif yang akan dibuat maka semakin banyak lidi yang diperlukan.

Alat bantu lain:
1. Peting atau plenting yaitu sepotong kayu yang digunakan untuk menggulung benang pakan. Penggulung benang ini berbentuk silinder dengan bagian pangkal kecil dan membesar di bagian ujungnya. Panjangnya tidak lebih dari 30 cm. Teknik penggulungan benang ke piranti ini cukup unik, yaitu dengan mengikat ujung benang dari kelosan ke peleting. Orang yang akan menggulung benang memegang pangkal peleting dalam posisi pegangan longgar. Bagian tengah peleting diletakkan di paha, kemudian didorong ke depan berulang-ulang dalam pola yang sama. Teknik ini dikenal dengan sebutan nggilis. Hasil nggilis membuat gulungan benang menjadi rapi dan bagian tengahnya menggelembung.


1. Gulungan benang pakan di peleting kemudian dimasukkan ke dalam bambu kuning satu ruas yang disebut sebagai kerompong. Salah satu buku kerompong tertutup dan buku lainnya terbuka. Cara memasukkan benangnya serupa dengan memasukkan pakan pendek ke jalinan longsen. Tabung kerompong kemudian dilemparkan ke “ruang” yang terbuka oleh penyicing  untuk kemudian disongsongkan sebelum terjatuh.
2. Benang emas cukup memakai peleting saja, tanpa kerompong, karena penyusunan benang emas cukup dilakukan dengan menyusur di antara celah sesuai alur motif yang dibentuk saat pen-cukit-an. Saat ini, peleting dibuat dari jenis kayu apa saja. Ujung peleting dibentuk menyerupa pentul agar benang tetap di posisinya saat digulung atau dimasukkan ke jalinan lungsen.
3. Teropong atau torak terbuat dari bambu dengan lobang di bagian tengah. Benang pakan yang sudah digulung di peting dimasukkan ke dalam teropong.
4. Rogan atau penguluran terbuat dari bambu dengan bagian kaki terbuat dari kayu. Dahulu dibuat dari bambu betung berbentuk seperti tabung, namun saat ini sudah agak sulit ditemukan. Penenun sekarang lebih banyak menggunakan potongan balok kayu yang lebih praktis. Rogan berfungsi untuk meletakan beliro dan pelipiran sewaktu si penenun sedang menyisir untuk meluruskan benang lungsen.
5. Potongan buku bambu ini diberi dua “kaki” untuk ditegakkan di atas balok. Rogan ditempatkan di sisi penenun, sehingga beliro, penyicing dan buluh penahan dapat langsung diluncurkan dari lungsen sampai “mendarat” di atasnya. Tujuannya adalah agar penenun lebih mudah menemukan alat-alat yang dibutuhkan untuk melanjutkan proses penenun.
6. Di bagian tengah ruas bambu yang mengarah ke penenun, dibuat semacam lubang memanjang agar penenun dapat menyimpan potongan benang pakan atau benang emas. Potongan benang yang disimpan di rogan biasanya digunakan untuk menyambung pakan panjang yang putus. Di masa kini, penenun juga dapat menyimpan alat pemotong seperti gunting atau silet di dalam rogan.
7. Undaran berfungsi sebagai penggulung benang setelan proses pewarnaan. Di bagian tengah potongan kayu yang dipasang bersilangan, dibuat semacam lubang yang longgar lalu diberi semacam as sebagai pengikat, agar undaran dapat diputar sesuai keinginan.
8. Kelosan dipakai untuk memindahakan benang pakan dari undaran, atau memindahkan benang emas dari gulungan dalam kemasannya. Pada masa lalu, kelosan dibuat dari kayu, namun kini agar lebih praktis, pemindahan benang dari undaran cukup dilakukan dengan sebuah kaleng.

Teknik pembuatan
Kata cukit diambil dari teknik pembuatan, yaitu dengan cara mencukit atau mencungkil benang. Alat yang digunakan untuk mencukit dikenal sebagai duri landak, karena dahulu memang duri landak asli yang digunakan. Sekarang, alat yang dipakai berupa bambu yang diserut menyerupai sumpit atau bahan kawat.
Pada masa lalu, desain motif untuk cukit digambar di atas sehelai kain. Seiring perkembangan zaman, media gambar saat ini telah memakai kertas. Gambar motif ini dikenal sebagai sutibilang. Benang pakan yang telah digulung di pani, kemudian digulung di dayan. Dayan sering pula disebut papan cukit karena susunan benang di papan itu juga dipakai saat dilakukan pencukitan.
Alat pendukung lain dalam proses mencukit adalah dua buah pemipilan. Pertama, pemipilan panjang untuk memisahkan benang di lungsen yang telah diatur alurnya sesuai dengan desain motif. Pemipilan kedua ukurannya lebih kecil, dipakai untuk mempertahankan alur yang tercipta dari hasil cukit-an. Setelah terbuat alur, pencukit kemudian memasukkan benang, yang dikenal sebagai belebes, dengan bantuan lidi ke dalam alur cukit.
Panjang benang pada lungsen diperuntukkan bagi penenunan tiga helai kain atau selendang. Banyaknya benang yang dipakai untuk tenunan kain adalah 1.400-1700 helai. jumlah benang untuk selendang sebanyak 750-900 helai. Tiap helai benang sudah dimasukkan ke suri sebelum dicukit. Saat berlangsung pencukitan, bentuknya sudah menyerupai lungsen. Bedanya, saat itu lungsen masih dalam bentuk “polos”.
Selanjutnya di sela-sela helai lungsen, dimasukkan benang nilon Jepang yang kemudian diikatkan ke lidi. Sembari memasukkan nilon, pencukit melepas perlahan benang belebes. Ikatan nilon di lidi ini dikenal dengan istilah gun. Pekerjaan serupa dilakukan secara berulang, sehingga nantinya ada banyak lidi yang terpasang serupa tumpukkan dengan ikatan nilon teruntai di sepanjang lidi. Banyaknya hasil cukitan ini tergantung pada motif apa yang diinginkan. Gun berdampingan dengan gun seling mato, yaitu gun untuk desain “daging” kain, tanpa benang emas.



1 komentar:

  1. Terimakasih kak infonya sukses terus kenalkan nama saya Fifi juliyanti
    https://www.atmaluhur.ac.id

    BalasHapus